Minggu, 26 Oktober 2008

ENDOMETRITIS

Endometritis adalah keradangan pada dinding uterus yang umumnya disebabkan oleh partus. Dengan kata lain endometritis didefinisikan sebagai inflamasi dari endometrium Derajat efeknya terhadap fertilitas bervariasi dalam hal keparahan radang , waktu yang diperlukan intuk penyembuhan lesi endometrium, dan tingkat perubahan permanen yang merusak fungsi dari glandula endometrium dan/atau merubah lingkungan uterus dan/atau oviduk. Organisme nonspesifik primer yang dikaitkan dengan patologi endometrial adalah Corynebacterium pyogenes dan gram negatif anaerob. Kebanyakan sapi perah post partum mengalami beberapa derajat enometritis kecuali dapt sembuh antara 40-59 hari post partum(Bretzlaff,1987).
Biasanya karakter klinisnya adalah adanya mukopurulen yang dikeluarkan vagina, 21 hari atau lebih setelah calving atau dihubungkan dengan ditundanya involusi uterus. Kejadian endometritis kira- kira 10 % pada ternak, meski kejadian pada kawanan sapi kurang jelas. Tetapi ada variasi yang besar pada kejadian endometritis antara yang digembalakan, dari beberapa kasus lebih dari 40% pada ternak yang dipelihara. Endometritis dianggap menyebabkan subfertil dan infertilitas. Adanya kontaminasi bakteri pada uterus akan melemahkan mileu hormonal dari hypothalamus-pituitary-poros ovarium dan menghambat pertumbuhan folikel dan perkembangannya. Infeksi uterus telah dilaporkan berhubungan dengan kenaikan kejadian penyakit cystic ovari. Lebih jauh lagi adanya dan menetapnya organisme pathologic menyebabkan endometritis. Endometritis telah mengganggu efek fertilitas ,memperpanjang calving interval, menurunkan jumlah service per conception (S/C) dan kegagalan perkawinan.
Secara ekonomi endometritis tergantung dari efek gangguan pada fertilitas, peningkatan pengafkiran, biaya treatmen. Pertimbangan biaya langsung pada kasus keluarnya vulva adalah untuk treatmen dan 300 ltr penurunan hasil susu juga peningkatan calving interval 18 hari dan peningkatan S/C 0,3. Menurut Hardjopranjoto(1995), infertilitas yang terjadi dapat berupa matinya embrio yang masih muda karena pengaru mikroorganisme sendiri atau terganggunya perlekatan embrio pada dinding uterus (kegagalan implantasi)
Etiologi
Diduga uterus dan isinya steril selama kebuntingan normal dan lebih dulu melahirkan. Kemudian waktu kelahiran atau setelah itu lumen uterus terkontaminasi mikroorganisme dari lingkungan, hewan, kulit dan feses melalui relaksasi peritoneum, vulva dan dilatasi cervik.
Ada berbagai macam faktor predisposisi dari endometritis. Sapi dengan infeksi uterus dihubungkan dengan A.pyogenes lebih dari 21 postpartus berkembang menjadi endometritis berat dan hampir dapat tetap subfertil pada service pertama. Sebagai tambahan, ada sinergisme antara A.pyogenes, F.necrophorum, dan Prevotella melaninogenicus, menyebabkan lebih beratnya kasus endometritis. Gangguan mekanisme pertahanan uterus seperti involusi uterus atau fungsi neutrofil akan menunda fungsi eleminasi kontaminasi bakteri. Distokia, kelahiran kembar atau kematian ternak dan kawin buatan meningkatkan kesempatan untuk kontaminasi pada traktus genital. Retensi membrane fetus adalah faktor predisposisi endometritis dan berhubungan dengan peningkatan endometritis berat.
Infeksi uterus adalah alasan kejadian, menjadi paling tinggi selama waktu dikandangkan, diduga karena kontaminasi lingkungan. Lingkungan ternak yang kotor mungkin meningkatkan resiko endometritis. Noakes (1991) mendiskripsikan 2 perbedaan higienisme yang nyata pada peternakan, satu dengan lingkungan yang relatif bersih kejadian endometritis adalah 2- 3 %, dibandingkan dengan kejadian 15 % dari lingkungan yang kotor. Tetapi tidak ada perbedaan pada kualitas dan kuantitas flora bakteri uterus pada ternak sapi pada masing- masing peternakan.
Ditunda kembalinya aktivitas siklus uterus setelah kelahiran memperlihatkan predisposisi endometritis. Jika interval dari kelahiran ke ovulasi pertama sangat pendek, itu diduga piometra dapat terjadi karena A.pyogenes dan bakteri anaerob Gram negatif yang akan tetap tinggal dalam uterus setelah ovulasi, yang membiarkan pertumbuhan bakteri yang melanjut mengikuti pembentukan corpus luteum.
Endometritis dapat juga terjadi karena kelanjutan dari kelahiran yang tidak normal, seperti abortus, retensi sekundinarum, kelahiran premature, kelahiran kembar, keahiran yang sukar (distokia), perlukaan yang disebabkan oleh alat-alat yang dipergunakan untuk pertolongan pada kelahiran yang sukar.
Endometritis dapat terjadi juga pada induk sapi setelah perkawinan alami dengan pejantan yang menderita penyakit menular kelamin seperti bruselosis, trichomoniasis, vibriosis, dll. Pada pelaksanaan inseminasi buatan yang dilakukan intra uterine pada sapi betina, mempunyai resiko untuk terjadinya endometritis, karena mungkin saja bakteri yang terbawa oleh alat insaminasi (insemination gun) atau dalam semen masih tercemar oleh kuman kemudian dapat menulari uterus. Streptococcus, Staphylococcus, E.coli, P.aeruginosa, dan C.pyogenes adalah bakteri nonspesifik yang terdapat secara non pathogen di mana-mana dan sering menginfeksi uterus. Berat tidaknya endometritis yang diserita tergantung pada keganasan bakteri yang menularinya, banyaknya bakteri, dan ketahanan tubuh penderita. (Hardjopranjoto,1995)
Dalam sumber lain dikatakan bahwa etiologi adalah polimikrobial: campuran organisme aerobik dan anaerobik biasa dijumpai. Gram positif coccus diantaranya: Streptococcus agalactiae, Strep.viridans, Strept.faecalis, Staphylococcus aureus, dan Staph.epidermidis Beberapa kasus berat disebabkan oleh Streptococcus Group ABakteri gram negatif yaitu E.coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis, Enterobacter aerogenes, Gardnerella vaginalis (Chandran,2006)

Gejala Klinis
• Berupa adanya leleran vaginal berwarna putih/putih kekuningan yang akan meningkat pada saat estrus yaitu saat cerviks berdilatasi dan ada mucus vagina yang berlebihan. Leleran tersebut biasa disebut “leucorrhoea” yang berarti secret yang putih dan kental dari vagina dan rongga uterus.
• Terdapat tanda-tanda penyakit sistemik yang pada beberapa kasus menyebabkan penurunan produksi susu dan nafsu makan.
• Pada palpasi per rectal ditemukan adanya involusi uterus yang terasa seperti adonan (doughy feel)
• Dalam jangka pendek akan mengurangi fertilitas dan akan memperpanjang calving interval serta menurunkan angka service per conception (S/C).
• Sedangkan dalam jangka panjang akan menyebabkan sterilitas yang dapat menimbulkan perubahan pada traktus genitalis yang bersifat irreversible.
(Arthur,1992)
Dari Hardjopranjoto (1995) menyebutkan bahwa endometritis dapat berupa kasus akut maupun kronis. Gejala klinis pada endometritis sering tidak begitu jelas. Demikian juga pada pemeriksaan melalui rektal atau pemeriksaan vaginal hasilnya tidak jelas, khususnya bila peradangan bersifat akut. Endometritis yang kronis disertai dengan penimbunan cairan (hidrometra) atau nanah (piometra), gejala-gejalanya akan lebih jelas, terutama pada waktu induk berbaring, akan ada cairan yang keluar dari alat kelamin luar berbentuk gumpalan nanah. Ini disebabkan uterus yang mengandung nanah atau cairan tertekan antara lantai kandang dan rumen. Kadang-kadang sukar menentukan apakah cairan tersebut berasal dari uterus atau serviks, karena umumnya serviks dan vagina turut serta dalam proses peradangan. Gejala lain yang mungkin dilihat khususnya endometritis yang akut pada sapi perah adalah suhu yang meningkat disertai adanya demam, sering urinasi, nafsu makan menurun, produksi susu juga menurun, denyut nadi lemah, pernafasan cepat, ada rasa sakit pada uterus, ditandai sering menengok ke belakang, ekor sering diangkat dan sering merejan.
Pada pemeriksaan rektal, uterus mungkin teraba agak membesar dan dan dindingnya agak menebal. Endometritis yang berderajat ringan, melalui perabaan rektal mungkin tidak teraba adanya kelainan pada uterus. Pada anjing, endometritis berat sering diikuti dengan muntah-muntah (Hardjopranjoto,1995).

Diagnosa
Secara klinis karakteristik endometritis dengan adanya pengeluaran mucopurulen pada vagina, dihubungkan dengan ditundanya involusi uterus. Diagnosa endometritis tidak didasarkan pada pemeriksaan histologis dari biopsy endometrial. Tetapi pada kondisi lapangan pemeriksaan vagina dan palpasi traktus genital per rectum adalah teknik yang sangat bermanfaat untuk diagnosa endometritis. Pemeriksaan visual atau manual pada vagina untuk abnormalitas pengeluaran uterus adalah penting untuk diagnosa endometritis, meski isi vagina tidak selalu mencerminkan isi dari uterus. Flek dari pus pada vagina dapat berasal dari uterus, cervik atau vagina dan mukus tipis berawan sering dianggap normal. Sejumlah sistem penilaian telah digunakan untuk menilai tingkat involusi uterus dan cervik, pengeluaran dari vagina alami. Sitem utama yang digunakan adalah kombinasi dari diameter uterus dan cervik, penilaian isi dari vagina.
Sangat penting untuk dilakukan diagnosa dan memberi perlakuan pada kasus endometritis di awal periode post partus. Setiap sapi harus mengalami pemeriksaan postpartum dengan segera pada saat laktasi sebagai bagian dari program kesehatan yang rutin. Kejadian endometritis dapat didiagnosa dengan adanya purulen dari vagina yang diketahui lewat palpasi rektal. Diagnosa lebih lanjut seperti pemeriksaan vaginal dan biopsi mungkin diperlukan. Yang harus diperhatikan pada saat palpasi dan pemeriksaan vaginal meliputi ukuran uterus, ketebalan dinding uterus dan keberadaan cairan beserta warna, bau dan konsistensinya. Sejarah tentang trauma kelahiran, distokia, retensi plasenta atau vagina purulenta saat periode postpartus dapat membantu diagnosa endometritis. Pengamatan oleh inseminator untuk memastikan adanya pus, mengindikasikan keradangan pada uterus.
Sejumlah kecil pus yang terdapat pada pipet inseminasi dan berwarna keputihan bukanlah suatu gejala yang mangarah pada endometritis. Keradangan pada cervix ( cervisitis) dan vagina ( vaginitis) juga mempunyai abnormalitas seperti itu. Bila terdapat sedikit cairan pada saat palpasi uterus, penting untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya yaitu dengan menggunakan spekulum.
Untuk beberapa kasus endometritis klinis atau subklinis, diagnosa diperkuat dengan biopsy uterin. Pemeriksaan mikroskopis dari jaringan biopsy akan tampak adanya peradangan akut atau kronik pada dinding uterus. Pemeriksaan biopsi uterin dapat untuk memastikan terjadinya endometritis dan adanya organisme di dalam uterus.

Tampak daerah keradangan menunjukkan terutama naetrofil granulocyte dan dikelilingi jaringan nekrosis dengan koloni coccus.


1996 Johns Hopkins School of Medicine,
http--oac_med_jhmi_edu-Pathology-Images-132B_gif.htm
Cara sederhana adalah melakukan pemeriksaan manual pada vagina dan mengambil mukus untuk di inspeksi. Keuntungan teknik ini adalah murah, cepat, menyediakan informasi sensory tambahan seperti deteksi laserasi vagina dan deteksi bau dari mukus pada vagina. Satu prosedur adalah pembersihan vulva menggunakan paper towel kering dan bersih, sarung tangan berlubrican melalui vulva ke dalam vagina. Pinggir, atas dan bawah dinding vagina dan os cervik eksterna dipalpasi dan isi mukus vagina diambil untuk diperiksa. Tanganbiasanya tetap di vagina untuk sekurangnya 30 detik. Pemeriksaan vagina manual telah sah dan tidak menyebabkan kontaminasi bakteri uterus, menimbulkan phase respon protein akut atau menunda involusi uterus. Tetapi operator sadar bahwa vaginitis dan cervicitis mungkin memberikan hasil yang salah. Vaginoscopy dapat dilakukan dengan menggunakan autoclavable plastik, metal atau disposable foil- lined cardboard vaginoscope, yang diperoleh adalah inspeksi dari isi vagina. Tetapi mungkin ada beberapa resistensi menggunakan vaginoscop karena dirasa tidak mudah, potensial untuk transmisi penyakit dan harganya. Alat baru untuk pemeriksaan mukus vagina terdiri dari batang stainless steel dengan hemisphere karet yang digunakan untuk mengeluarkan isi vagina


Treatmen
Tiga treatmen yang paling sering digunakan adalah PGF-2α parenteral atau analog, estrogen dan antibiotic intrauterine.
PENCEGAHAN
• Menyembuhkan penyakit metabolisme
ini sangat baik dengan memenuhi kebutuhan nutrisi sapi, salah satu caranya:
• Meningkatkan BCS 2 ke 3
• Memenuhi kebutuhan magnesium
• Perbaiki kebutuhan nutrisi, dan lingkungan kandang
• Menjaga kebersihan alat yang digunakan dalam pertolongan kelahiran
• Mengawinkan sapi betina hendaknya dilakukan sekurang-kurangnya 60 ari post partus
• Dalam menangani retensi sekundinarum segera diadakan pertolongan dengan teknik yang baik dan menyeluruh, jangan ada sisa sekundinae yang tertinggal di dalam uterus.

TERAPI ENDOMETRITIS
• Antibiotik lokal atau sistemik
Oksitetrasiklin 500-1500 mg dengan pemakaian maksimal 3-6 gr (Intra Uterine)
Neomisin 500-1000 mg
• Prostaglandin atau estradiol
• Dengan terapi microwave dengan intensitas yang rendah.
Kelompok sapi diobati dengan metode berikut:
 Mengobati uterus dengan radiasi infra merah yang berintensitas rendah atau terapi laser dengan jarak 5-10 cm dari kulit, waktu tiap penyinaran kurang lebih 30 detik, dengan total waktu penyinaran 1 menit.
 Pengobatan dengan apparatus IMG-42.2, dengan jalan kontak langsung dengan horn cap, menggunakan daerah antara sakral ke2 dan ke3. Area kontrol dari proses fisiologi ini berada di uterus. Waktu terapi kurang lebih 10 menit. Alternatif lain daerah radiasi lainnya adalah antara prosesus spinosus sakral 2 dan 3, kanan kirinya berjarak 4 jari. Waktunya 5 menit untuk tiap area, dengan total waktu 10 menit.
 Dari pengobatan sampai kesembuhan 1 tahap perhari, namun perharinya tidak lebih dari 10 tahap yang dilakukan

`DIAGNOSA KLINIK PADA SAPI

A. Pemeriksaan Umum
Anamnesa
Dilakukan tanya jawab antara dokter hewan dengan pasien atau pengantarnya, sehingga dokter hewan dapat mengarahkan pemeriksaannya pada tujuan-tujuan tertentu dan data yang diperoleh dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik itu dapat dipergunakan sebagai dasar yang kuat untuk membuat diagnosa yang tepat. Mengingat adanya kemungkinan bahwa penyakit yang di derita sekarang mungkin akibat penyakit/kelanjutannya dari yang dahulu maka sering ditanyakan pula berbagai penyakit pada masa lalu.
Jikalau ada persangkaan penyakit yang diderita ada hubungannya denga faktor keturunan perlu ditannyakan pula penyakit yang pernah diderita oleh kaum kerabatnya yang lebih tua dimasa lampau. Karena banyak hal yang perlu ditannyakan kepada klien, dokter hewan harus menjaga supaya kegiatan anamnesa tidak bertele-tele dan mengarahkan pertanyaan sehingga tidak ada kemungkinan dari pasien untuk memberi jawabanyang berbelit-belit (Soehardo K, 1987).
Untuk penyakit-penyakit menular atau berbahaya bagi manusia perlu dilakukan anamnesa terarah kepada klien yang meliputi :
- Riwayat sering kontak dengan ternak atau produknya.
- Riwayat kontak dengan ternak sakit.
- Riwayat mengkonsumsi daging ternak sakit.
- Status pekerjaan (Petani ladang, peternak, RPH, peyamak kulit).
- Tidak kalahnya dari kalangan medis adalah mengetahui dimana dia berada, di wilayah endemis atau perbatasan.
Inspeksi
Sebelum melakukan inspeksi, usahakan hewan tidak menaruh curiga kepada pemeriksa dan usahakan agar hewan tenang. Inspeksi atau melihat keadaan pasien dari jarak jauh dan jarak dekat secara menyeluruh dari segala arah serta perhatikan keadaan sekitarnya.
Dilakukan dengan memperhatikan keadaan hewan seperti ekspresi muka, kondisi tubuh, cara dan tipe pernafasan, keadaan abdomen, posisi berdiri, keadaan lubang alami, aksi dan suara.
Selain kegiatan inspeksi seperti diatas perlu juga dilakukan inspeksi jarak dekat terhadap warna kulit, karena selain warna kulit terpengaruh pigmen kulit juga dapat dipengaruhi oleh peredaran darah (PD) di bawahnya. Sebagai contohnya adalah warna kulit yang kemerah-merahan menandakan adanya PD yang giat dibawah kulit. Hewan yang mendadak ketakutan, terkejut, marah, dan sebagainya dikarenakan gangguan syaraf vegetatif (Soehardo K, 1987).
Pulsus dan Nafas
Sistem sirkulasi seekor hewan terdiri dari suatu pompa empat ruang, yaitu jantung, serta suatu sistem pembuluh guna peredaran darah. Pembuluh yang mengedarkan darah dari jantung ke bagian-bagian lain disebut arteri, sedangkan yang membawa darah menuju jantung disebut vena (R.D.Frandson, 1992). Pulsus bersumber pada denyut jantung. Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan irama dan lajunya dalam semenit serta kualitasnya. Jikalau irama denyut tidak rata, dikatakan ada pulsus irregularis (Soehardo K, 1987). Pada sapi diperoleh data yaitu 54-84 kali permenit. Pemeriksaan pulsus pada sapi dapat dipalpasi pada : arteria maxillaris externa/a. facialis (raba tepi depan m. Masseter dengan jari dan gerakan kemuka dan kebelakang) atau a. coccygea di sebelah ventral dari pangkal ekor.
Oksigen adalah salah satu dari kebutuhan-kebutuhan yang paling vital. Seekor hewan masih dapat bertahan hidup beberapa hari tanpa air, atau beberapa minggu tanpa makanan, tetapi tanpa oksigen hanya dalam ukuran menit saja. Sistem respirasi terdiri dari paru dan saluran-saluran yang memungkinkan udara dapat mencapai atau meninggalkan paru. Saluran tersebut mencakup nostril (lubang hidung), rongga hidung, farinks, larinks, dan trakea (R.D.Frandson, 1992). Pemeriksaan nafas dengan menghitung frekuensi dan memperhatikan kualitasnnya dengan :
- Melihat kembang kempisnya daerah toraco-abdominal.
- Menempelkan telapak tangan didepan cuping hidung.
Selama respirasi yang relatif tenang, kontraksi diafragma cukup mampu membesarkan toraks. Kontraksi bagian muskular dari diafragma mendorong isi abdomen ke arah kaudal, jadi meningkatkan panjang (volume) toraks. Gerakan respirasi dapat direkam dengan menggunakan alat yang responsif terhadap perubahn tekanan di dalam rongga pleural atau di dalam trakea, contohnya adalah pneumograf, stetograf, atau pletismograf (R.D.Frandson, 1992). Frekuensi nafas normal sapi adalah 20-42 kali per menit.
Suhu Tubuh
Sebelum pemakaian turunkan kolom air raksa di dalam termometer sampai di bawah skala. Pemeriksaan dan perhitungan suhu tubuh dapat dilakukan dengan memasukkan ujung termometer ke lubang anus yang sebelumnya oleskan bahan pelicin pada ujung termometer. Selain itu pengerjaan ini juga dapat dilakukan pada rongga mulut (rongga pipi) apabila ada hal yang meragukan pada lobang anus misalnya radang anus lokal atau anus kendor.
Perhitungan setelah pemasangan termometer selama ± 3 menit. Untuk perlakuan pada rongga mulut perlu diperhatikan adanya evaporasi (penguapan), oleh karena itu perlu penambahan 0.5 ºC. Suhu tubuh normal pada sapi adalah 37,6-39,2 ºC.
Selaput Lendir
☛ Conjunctiva
Inspeksi keadaan selaput lendir, apakah terjadi perubahan warna ataukah terdapat lesi disekitarnya. Pada pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat conjunctiva palpebrum dengan menggeser ke atas kelopak mata atas dengan ibu jari, kemudian gantikan ibu jari dengan telunjuk dan sedikit ditekan. Perlakuan ini juga berlaku pada kelopak mata bawah.
☛ Selaput lendir hidung, mulut dan vulva
Seperti pada pemeriksaan conjunctiva yaitu dengan memperhatikan warna dan kelembaban selaput lendir hidung, mulut, dan vulva dengan membukanya. Pada saat membuka mulut lakukan juga pemeriksaan CRT (Capilary Refil Time/Waktu terisinya kembali kapiler), dengan cara menekan gusi dan melepaskan kembali. Pada saat pemeriksaan CRT hitunglah waktu kembalinnya warna gusi dari putih menjadi merah.
Mata
Pemeriksaan umum yang terakhir yaitu memperhatikan apakah ada vasa injeksi atau mungkin ada lesi-lesi pada episclera/conjunctiva bulbi. Geser kelopak mata atas dan bawah untuk memudahkan memeriksa cornea, camera oculi anterior, iris, lensa crystalina, retina, dan fundus. Pemeriksaan bola mata dari sebelah muka dan samping.
Dengan cara sepert diatas akan dapat diketahui / dibedakan dimana letak lesi, apakah terletak pada cornea, apakah terletak pada cornea, atau apakah terletak pada bagian sebelah belakang. Dengan alat bantu opthalmoscope dapat dilakukan pemeriksaan retina dan fundus.

Chronic Respiratory Disease

Pendahuluan
Mikoplasmosis adalah penyakit pada unggas yang disebabkan oleh beberapa spesies Mycoplasma, yang tergolong kelas Mollicutes, ordo Mycoplasmatales dan famili Mycoplasmataceae. Organisme ini merupakan prokariot terkecil yang membelah sendiri dan mempunyai dinding sel, tetapi dikelilingi oleh 3 lapis memmbran plasma. Beberapa dari spesies Mycoplasma mempunyai dampak ekonomik yang penting dari perunggasan sehubungan dengan penyakit primer yang ditimbulkan ataupun akibat penyakit gabunbgan yang ditimbulkan dengan agen penyakit lainnya.
Sekitar 17 spesies Mycoplasma telah dilaporkan pada unggas, namun hanhya 4 diantranya yang telah dinyatakan pathogen, yaitu Mycoplasma galliseptikum (Mg) dan Mycoplasma synoviae (Ms) pada ayam dan kalkun ; Mycoplasma meleagridis (Mm) dan Mycoplasma iowae (Mi) pada kalkun.

Infeksi Mycoplasma galliseptikum.
Infeksi Mycoplasma galliseptikum lebih dikenal dengan nama chronic Respiratory disease (CRD), merupakan penyakit pada ayam yang ditemukan pada semua kelompok umur.
Cronic respiratory disease pada ayam, dengan/ tanpa faktor komplokasi mempunyai dampak ekonomi yang penting, meliputi : gangguan pertumbuhan, produksi karkas, penurunan produksi telur, penurunanan efisiensi pakan dan peningkatan biaya pengobqtan dan biaya pencegahan. Disamping itu, penyakit ini juga menekan kekebalan oleh karena merusak dinding saluran pernafasan bagian atas, yang mempunyai peran penting dalam sistim kekebalan local. Chronic respiratory disease juga menyebabkna penurunan daya tetas telur.
Kejadian penyakit.
Penyakit ini dilaporkan terjadi di berbagai Negara penghasil unggas dunia. Diberbagai peternakan di Indonesia, CRD merupakan penyakit yang hampir selalu ditemukan pada setiap periode p[emeliharaan aym pedaging maupun petelur. Penyakit ini banyak ditemukan pada saat pergantian musim (kemarau ke hujan atau sebaliknya); selama periode curah hujan yang tinggi; selammusim kemarau panjang pada saat temperature dan kelembapan sangat berfluktuatif pada waktu siang dan malam.
Penyakit pernafasan menahun terutama terjadi di perternakan yang tata laksana perkandangannya kurang memenuhi persyaratan kesehatan.
Hospes alami dari CRD adalah ayam dan kalkun, walupun unggas lainya , meliputi itik peliharaan, burung peliharaan dan burung liar dapat juga terinfeksi oleh oprganisme tersebut. Ayam dan kalkun sangat sensitive selama periode beberapa hari pertama dan biasanya ketahanan akan meningkat sejlan dengan pertambahan umur. Adanya infeksi dengan mYcoplasma galiseptikum akan menyebabkan timbulnya suatu respon kekebalan yang menghasilkan suatu tingkat perlindungan tertentu. Disamping ayam dan kalkun, penyakit ini juga telah dilaporkan pada burung merak, angsa, burung puyuh, itik, kalkun dan beberapa jenis burung peliharaan dan burung liar.
Etiologi
Penyakkit ini disebabkan oleh mYcoplasma galliseptikum yang tergolong famili Mycoplasma taseae, genus mycoplasma. mYcoplasma galliseptikum dapat diwarnai dengan giemza dan bersifat gram negative lemah. Organisme ini umunya bersifat cocoid dengan ukuran 0,25-0,5 mikrometer.
Cara Penularan
Penyebaran dalam kandang ayam dapat terjadi melalui kontak langsung maupun secara tidak langsun g antara ayam sakit dengan ayam sehat, misalnya m,enelan percikan saluruhan hidung dan mulut dari ayam yang sakit.
Penularan dapat terjadi secara tidak lansuing melalui udara yang tercemar oleh debu atau leleran tubuh yang mengandung Mycoplasma galliseptikum; pakan/air minum, perlengkapan kandang, alat transportasi dan pekerja yang tercemar oleh organisme tersebut.
Penularan CRD dapat juga terjadi secara vertical melalui ovarium, transovarial, yaitu penularan dari induk kepada anaknya melalui telur. Para peneliti melaporkan bahwa organisme ini dapat diisolasi dari oviduct atau semen ayam yang terinfeksi.
Gejala Klinik
Gejala klinik mungkin tidak teramati bila tidak terjadi komplikasi. Tanda-tanda klinis yang paling sering terlihat adalah getah radang cair keluar dari hidung, cairan berbusa dari mata, dan pembengkakan sinus periorbital; gejala yang paling menonjol adalah ngorok basah akibat bunyi cairan yang melalui trakea, leleran dari hidung, dan batuk. Pada hidung dapat ditemukan adanya eksudat serus yang lengket. Bulu sayap kerapkali menjadi kotor oleh karena ayam akan berusaha untuk menggosok hidung dan mata yang mengeluarkan eksudat. Jika lesi hanya terjadi pada kantong udara, maka gejala klinik yang spesifik tidak akan muncul.
Mortalitas biasanya sangat rendah pada ayam dewasa, walaupun pada ayam petelur, jumlah yang berproduksi akan menurun. Pada grower atau ayam pedaging mortalitas biasanya rendah pada kasus yang tidak mengalami komplokasi. Sebalikny apda ksus yang mengalami komplikasi maka mortalitas dapat mencapai 30%.
Ayam yang dapat bertahan akan mengalami gangguan pertumbuhan, penurunan produksi telur, penurunan kualitas karkas dan organ visceral. Di indonesia, penyakit ini paling banyak merupakan komplikasi dari gumboro, kolibasilosis, SHS, Infectious coryza dan IB.
Perubahan Patologik
a. Makroskopik
Peerubahannyang terlihat terutama meliputi pembentukan eksudat mucus sampai kaseus di dalam kavum nasalis dan para nasalis, trachea, bronchi, dan kantung udara. Kerap kali juga ditemukan adanya sinusitis. Kantong udara biasanya mengandung eksudat kaseus yang berwarna kuning terang walupun kadang-kadang hanya terlihat keruh. Pneumonia juga kadang nampak. Beberapa ahli juga melaporkan adanmya salpjhingitis; pada keadaan ini oviduct akan terisi oleh eksudat kaseus.
b. mikroskopik
pada stadium awal, infeksi Mycoplasma galliseptikum biasanya ditandai dengan menghilangnya silia dari epitel pada dinding saluran pernafasan. Pada infeksi berat lesi yang terlihat meliputi penebalan membrane mukosa saluran pernafasan akibat infiltrasi limfosit, makrofag, dan hyperplasia glandula mukosa. Pada daerah sub mukusa kerrap kali di temukan hyperplasia sel limfoid yang bersifat multifokal. Pada paru, dapat ditemukan adanya infiltrasi leukosit, makrofag dan sejumlah kecil heterofil diantara dinding para bronchi.
Diagnosis.
Specimen berupa tampon eksudat atau potongan jaringan alat pernafasan yang diambil sewaktu pemneriksaan klinis atau pasca mati dikirimkan dalam kleadaaan dingin ke laboratorium penyidikan penyakit hewan untuk isolasi mikroorganisme. Serum darah juga dikirim dalam keadaaan segar dingin untuk uji serologi.
Diagnosis penyakit ini dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan serologic seperti Rapid Plate Agglutination Test (RPAT), Enzim Linked Imunosorbend Assay (ELISA), Standar Tube Aglutination Test, Standart Hemaglutination Inhibition (HI) Test. Diantara beberapa uji serologim tersebut, RPAT merupakan tes yang praktis dan murah, yang banyak digunakan dilapangan.

Bovine Viral Diarrhea and Mucosal Disease

BVD-MD dikenal sebagai penyebab diare sejak tahun 1940. Penyakit ini disebabkan oleh simple virus yang menyebabkan diare. BVD pertama kali ditemukan sebagai penyebab aborsi pada ternak di UK pada tahun 1980 (Arthur, 2001).
Virus BVD/MD adalah virus yang menginfeksi sapi maupun biri-biri. Virus ini merupakan RNA virus kecil beramplop yang diklasifikasikan sebagai Pestiviruses bersama dengan Border Disease Virus, yang juga menginfeksi biri-biri, serta Classical Swine Fever Ada dua spesies berbeda dari virus BVD/MD yang telah ditemukan; BVD-1 dan BVD-2. BVD-1 terdistribusi di seluruh dunia dan memiliki subspesies yang beragam. BVD-2 telah dilaporkan ditemukan di Eropa, walaupun sangat jarang ditemukan di luar Amerika Utara. Virus, yang menginfeksi babi. Penyakit yang disebabkan oleh BVD-1 cenderung tidak parah, sedangkan infeksi BVD-2 biasanya menyebabkan outbreaks penyakit yang lebih parah menyebabkan diare haemorrhagic akut serta kematian.
Di Inggris, subspesies BVD-1mendominasi. Ini, seperti halnya strain lain dari BVD, memiliki 2 biotipe; non-cytopathogenic dan cytopathogenic. Biotipe non-cytopathogenic adalah yang biasa ditemukan dalam suatu populasi sapi dan yang menyebabkan terjadinya peningkatan, dengan mutasi ataupun rekombinan, menjadi biotipe cytopathogenic. Berbagai perkiraan mengenai prevalensi virus ini pada peternakan sapi di UK menduga bahwa lebih dari 85% kelompok sapi nasional secara endemis terinfeksi.

Gejala Klinis:
Gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi virus BVD bervariasi secara luas tergantung pada masing-masing individu dan strain virus yang menginfeksi. Di Inggris, dalam kebanyakan kasus, ketika seekor hewan yang tidak bunting terinfeksi, penyakit yang muncul tidaklah parah dan muncul hanya dalam waktu yang singkat. Secara khas hewan yang terinfeksi mengalami kenaikan temperatur, diare dan penurunan produksi susu. Gejala ini pada umumnya hanya muncul beberapa hari dan seringkali tidak begitu tinggi sehingga tidak teramati. Yang lebih penting barangkali adalah periode immunosupresi yang mengikuti infeksi virus BVD. Ini memudahkan infeksi oleh pathogen lain yang menyebabkan insiden kejadian penyakit yang lebih tinggi, misalnya diare pada anak sapi atau radang paru paru (pneumonia) ataupun mastitis pada sapi perah.
Jika hewan yang terinfeksi adalah sapi bunting, selain efek infeksi pada induknya, efek infeksi terhadap fetus haruslah dipertimbangkan. Namun lagi-lagi, ini bervariasi tergantung pada strain virus yang menginfeksi dan, terutama, terhadap umur dari fetus. Pada hampir semua stadium kebuntingan, dan terutama selama trimester I dan II, infeksi pada fetus dapat kematian fetus. Ini mungkin dimanifestasikan sebagai kegagalan konsepsi, kematian embrio dini dengan estrus kembali yang tertunda, mumifikasi fetus ataupun abortus. Jika infeksi BVD tidak mengakibatkan kematian fetus, mungkin saja akan bertanggung jawab dalam menyebabkan berbagai abnormalitas fetus yang biasanya mempengaruhi CNS, terutama otak besar (cerebellum), dan mata. Hasil dari hal ini akan diturunkan pada anaknya dan menyebabkan antara lain kesulitan untuk berdiri serta menjaga keseimbangannya ataupun katarak lensa okular (ataupun keduanya). Jika infeksi fetus terjadi pada trimester I kebuntingan, sebelum pembentukan sistem imun fetus, kemungkinan lebih lanjutnya adalah anak sapi yang terinfeksi secara persisten (PI = Persistently Infected).
Hewan PI, seperti namanya, tetap terinfeksi dan infeksius dengan BVD untuk seumur hidup mereka. Sedemikian, mereka menjadi salah satu sumber infeksi terbesar dalam suatu kelompok ternak yang terinfeksi secara endemis. Sering kali hewan ini dapat dengan mudah diidentifikasi. Mereka cenderung kecil, penampilan yang jelek, dan menjadi individu yang sakit-sakitan. Mereka mungkin, bagaimanapun, menjadi terlihat normal dan tidak dapat dibedakan dari hewan lainnya dengan umur dan breed yang sama. Semua hewan PI, dan hanya hewan PI, akan mati karena penyakit pada mucosal, biasanya pada umur antara enam bulan sampai dua tahun. Penyakit pada mucosal, bagaimanapun, terlihat dapat menginfeksi anak sapi pada umur beberapa minggu dan beberapa hewan PI dapat bertahan hidup dengan kesehatan yang nampaknya baik selama bertahun-tahun. Penyakit mucosal, ketika muncul, dikarakteristikkan oleh adanya ulserasi pada saluran gastrointestinal yang mengakibatkan diare, yang pada umumnya timbul sebagai suatu serangan yang cepat, yang tidak bisa diprediksi dan selalu fatal (Cutler, 2002).
Efek BVD-MD pada organ reproduksi sangat bervariasi :
(1) Veneral Infection sapi betina dan sapi dara dapat terinfeksi oleh sapi jantan yang menderita infeksi persisten melalui udara atau perkawinan alam. Hewn akan gagal untuk meningkatkan antibody terhadap virus dan menyebabkan rata-rata S/C menjadi 2,3.
(2) Transplacental Infection. Efek yang nyata pada organ reproduksi merupakan hasil dari infeksi secara transplacental. Jika sapi yang hamil terinfeksi oleh virus BVD-MD terdapat kemungkinan yang cukup besar bahwa fetus akan terinfeksi, hal ini dapat menyebabkan aborsi, kelahiran lemah dan fetus yang berukuran dibawah normal atau malformasi congenital, anak pedet yang sehat juga dapat dilahirkan (Arthur, 2001).

Patogenesis:
Walaupun BVD dapat menyebar diantara individu dengan immunocompetent sebagai suatu infeksi akut, hewan PI bertindak sebagai reservoir utama dan sumber utama infeksi. Mereka menyebarkan konsentrasi virus yang lebih tinggi dibanding hewan yang terinfeksi secara akut dan mereka tetap menyebarkan virus seumur hidup mereka. Biri-Biri juga perlu diwaspadai sebagai sumber infeksi yang potensial.
Hewan yang terinfeksi mengeluarkan (mengekskresikan) virus dalam berbagai sekresi cairan. Yang paling penting adalah penyebaran penyakit peroral serta leleran hidung. Penyebaran lewan fese relatif tidak penting dalam pathogenesis BVD. Virus BVD dapat juga ditularkan lewat semen dan transfer (Cutler,2002).
Infeksi oleh strain non cytopatic pada uterus selama 30-120 hari kebuntingan menyebabkan anak sapi yang dilahirkan mengalami infeksi virus secara persisten, pedet akan mengalami imunotoleran. Jika terjadi infeksi oleh strain cytopatic BVD dapat menyebabkan peningkatan penyakit mucosal disease. Hewan yang mengalami infeksi persisten akan menyebarkan virus selama hidupnya. Kejadian infeksi persisiten pada pedet (carier) memiliki perbandingan 1 kejadian untuk setiap 100-1000 kelahiran. Hewan yang mengalami infeksi persisten perlu mendapatkan perawatan yang khusus sehingga tidak mencemari lingkungan disekitarnya. Infeksi persisten pada sapi dapat ditularkan secara vertical melalui infeksi secara transplacental dari induk ke pedetnya. Hewan dengan infeksi persisten atau mengalami infeksi akut akan menyebarkan virus ini melalui leleran hidung, mata, saliva, urin dan feces.
Infeksi yang terjadi pada sapi dalam stadium kebuntingan dapat menyebabkan kematian fetus dini, aborsi, fetus yang mengalami abnormalitas pada sistim syaraf pusat dan system ocular. Infeksi pada trisemester kebuntingan akhir tidak mengakibatkan imunotoleran pada induk, tetapi dapat menyebabkan gangguan imunitas pada pedet yang dilahirkan.
Infeksi pada hewan dewasa tidak akan menyebabkan imunotoleran, gejala klinis yang menciri adalah adanya periode demam yang disertai leucopenia viremia yang berlangsung selama lebih dari 15 hari. Pada sekelompok hewan yang peka, akan ditemukan gejala diare dengan morbiditas yang tinggi tetapi rata-rata mortalitasnya rendah, leleran dari mata dan hidung dan ulcer di mulut. Pada sapi perah yang terinfeksi akan mengalami penurunan produksi. Virus bersifat imunosupresif, sehingga menyebabkan hospes menjadi rentan terhadap infeksi penyakit yang lain. Gejala klinis yang ringan dari penyakit ini akan menimbulkan efek yang besar pada fungsi reproduksi sejak timbulnya gejala berupa demam ringan dan adanya lesi pada mulut yang umumnya tidak terdeteksi.
Sapi jantan yang mengalami infeksi kronis/ persisten akan mengekskresiksn virus dalam semen yang dihasilkan. Pada pengamatan selanjutnya virus akan disebarkan setelah terjadi viremia, dimana glandula vesikuler dan prostate merupakan tempat virus ini melakukan replikasi.
Mucosal disease biasanya terlihat pada hewan muda (6-24 bulan). Penyakit ini dicirikan dengan adanya anorexia, diare berair, lelerahn hidung, ulcerasi pada mulut dan lameness. Tetapi efek pada hewan yang terinfeksi mortalitasnya tinggi.
Efek pada Performance Reproduksi
Efek dari virus BVD pada reproduksi tergantung pada stadium kebuntingan saat terjadi infeksi. Infeksi akut dengan salah satu biotipe, dapat berakibat fatal pada embrio/ fetus selama bulan pertama kebuntingan. Infeksi dapat mengakibatkan kematian dan penyerapan sebagian tubuh embrio. Satu-satunya gejala reproduksi yang timbul pada sapi betina adalah kembalinya estrus dengan interval yang normal atau diperpanjang. Rata-rata kebuntingan akan berkurang pada hewan yang terinfeksi.
Rata-rata kebuntingan yang rendah juga merupakan hasil dari inseminasi semen yang terkontaminasi oleh virus BVD, walaupun penularan dapat melalui udara dan perkawinan alami. Penelitian yang dilakukan inseminasi dengan menggunakan semen yang terkontaminasi virus, sapi dengan seronegatif memiliki rata-rata S/C pada IB yang pertama sebesar 22,2% sedangkan seropositif sebesar 78,6% (Virakula et al., 1993). Meskipun demikian Wintik et al (1989) menunjukan rata-rata kebuntingan yang normal pada sekelompok kecil sapi setelah dilakukan perkawinan dengan sapi jantan yang mengalami infeksi persisten.
Pada bulan ke 2-4 kebuntingan, infeksi dapat diikuti dengan aborsi, kematian dengan mumufikasi, penghambatan pertumbuhan, abnormalitas perkembangan CNS dan alopecia, beberapa sapi yang terinfeksi akan menyebabkan kematian pada pedet tetapi dapat juga menyebabkan infeksi persisten. Infeksi sebelum 128 hari penting untuk stadium carier pada pedet.
Pada usia kebuntingan 5-6 bulan, akan menyebabkan aborsi atau kelahian pedet dengan abnormalitas congenital pada CNS dan mata. Terdapat interval antara beberapa hari hingga 2 bulan diantara terjadinya infeksi virus hingga menyebabkan aborsi.
Infeksi pad afetus pada masa kebuntingan akhrir akan berperan penting dalam system imun pedet, sejak fetus dapat meningkatkan respon antibodinya terhadap mikroorganisme pada usia kebuntingan 5-6 bulan (Bolin, 1990). Walaupun demikian infeksi pada fetus dapat juga diikuti kelahiran premature, still birth atau pedet yang kurus dan abnormalitas kebuntingan (Arthur, 2001).

Diagnosis:
Sebagai tambahan pada gejala klinis dan postmortem dari infeksi BVD, berbagai metodologi laboratorium dapat membantu mendiagnosa penyakit ini. Ini meliputi demonstrasi antigen atau antibodi spesifik dalam darah atau susu serta isolasi virus dari jaringan.
Konfirmasi hasil diagnosa BVD pada kasus akut tergantung pada adanya demonstrasi seroconversion di dalam sampel serum. Konfirmasi BVD sebagai penyebab aborsi adalah lebih sulit. Demonstrasi seroconversion maternal maupun fetal serta isolasi virus dari jaringan fetus dapat menjadi bukti yang sempurna.
Dalam banyak kasus dimana pengujian laboratorium dilaksanakan, tujuannya tidaklah diagnostik tetapi lebih pada screening exercise untuk mengidentifikasi hewan PI sebagai bagian dari progam pengendalian penyakit. Dalam kondisi ini keakuratan hasil pengujian laboratorium adalah sangat penting. Walaupun sensitivitas (kepekaan) dan spesifitas (ketegasan) dari pengujian yang saat ini tersedia adalah baik, sensitivita dapat lebih ditingkatkan, dari segi biaya, dengan lebih dulu menguji untuk adanya seroconversion dan kemudian dengan pengujian lebih lanjut dari hewan yang seronegative ( hewan PI tidak menghasilkan antibodi dalam merespon baik infeksi ataupun vaksinasi) atau mempunyai titer antibodi yang rendah terhadap adanya vir Faktor konfonding, bagaimanapun, masih tetap ada. Adalah mungkin untuk hewan non-PI memiliki antibodi negative-antigen positif jika, kebetulan, pengambilan sampel dilakukan pada fase infeksi akut. Juga memungkinkan untuk hewan PI memilki antibodi positif. Biasanya ini terjadi sebagai hasil transfer pasif antibodi dalam kolostrum dari induk non-PI kepada anak sapi PI nya segera setelah . Antibodi maternal ini akan menurun pada saat anak sapi itu berumur sekitar 4 bulan dan akan kembali menjadi antibodi negatif-antigen positif.us BVD. Adakalanya, bagaimanapun, seekor hewan PI akan menghasilkan antibodi spesifik BVD dengan sendirinya yang mana, walaupun jarang, adalah suatu kemungkinan yang harusnya tidak dilewatkan. Suatu kemungkinan yang serupa namun jarang adalah hewan PI non-viraemic. Barangkali, bagaimanapun, alasan yang paling umum dari kegagalan untuk mengidentifikasi hewan PI adalah kegagalan untuk mengetahui status dari fetus ketika menguji hewan yang bunting. Haruslah aman untuk berasumsi bahwa induk dengan antibodi negative-antigen negatif akan menghasilkan anak sapi non-PI (tergantung pada stadium kebuntingan saat sampel yang akan diuji dikumpulkan dan kemungkinan dari sapi betina tersebut menjadi terinfeksi setelah diambil sebagai sampel). Juga suatu hal yang biasa bahwa induk PI akan menghasilkan keturunan yang juga PI. Status dari anak sapi yang dilahirkan oleh induk dengan antibodi positif-antigen negatif, bagaimanapun, bervariasi dan akan tergantung pada stadium kebuntingan saat induk tersebut terinfeksi. Jika induk terinfeksi sebelum konsepsi anaknya haruslah antibody negatif-antigen negatif. Jika infeksi terjadi selama stadium akhir kebuntingan anaknya haruslah antibody positif-antigen negatif. Jika, bagaimanapun, induk terinfeksi selama kebuntingan awal mungkin, atau bahkan mungkin tergantung pada waktu yang tepat terjadinya infeksi, anaknya akan terinfeksi BVD secara persisten. Dalam rangka menentukan dengan derajat ketelitian berapapun apakah ini adalah atau bukanlah kasus, sampale dikoleksi dari anak sapi baik sebelum menyusu kolostrum apapun maupun sekali ketika mencapai usia 6 bulan perlu untuk diuji (Cutler, 2002).
Diagnosis dapat dilihat dari gejala klinis yang terlihat. Fetus yang dikeluarkan juga akan menujukan lesi yang menciri pada kasus ini. Virus dapat di isolasi dari fetus, yaitu pada jaringan limfoit seperti lien. Identifikasi monocytocemical protein virus BVD pada jaringan fetus, khususnya ginjal, paru-paru atau jaringan limfoid kadang-kadang dapat terdeteksi. Kenaikan substansi neutralizing antibody pada sekelompok ternak yang mengalami aborsi dan menunjukan antibodi dalam serum pada pedet yang baru saja dilahirkan atau cairan thorak fetus yang diaborsikan dapat digunakan sebagai bahan diagnosis infeksi. Pad kasus pedet yang dapat dilahirkan, serum harus diambil setelah pedet mengkonsumsi colostrum (Arthur, 2001).

Managemen:
Berbagai pilihan dapat dilakukan untuk manajemen BVD sekali ketika infeksi dalam suatu kelompok ternak telah ditetapkan. Ada pilihan untuk tidak melakukan apapun. Pengembangan imunitas alami adalah, bagaimanapun, tak dapat diprediksi dan jika pilihan ini dipilih secara berkelanjutan maka seringkali kerugian yang tidak diketahui akan berlanjut. Ini juga merupakan suatu kasus jika seekor hewan PI digunakan untuk 'memvaksinasi' sapi lainnya.
Dalam tahun-tahun terakhir ini pengembangan dari vaksin yang efektif dan aman yang memberikan fetus perlindungan sebaik perlindungan maternal telah memberikan pilihan untuk mengontrol BVD melalui vaksin. Ini pada umumnya memberi hewan yang tidak divaksin sebanyak 2 dosis inisial vaksin. Hewan yang sebelmunya telah divaksin haruslah menerima dosis booster vaksin tunggal setiap tahunnya. Pada situasi yang ideal kebijakan memvaksinasi seluruh kelompok akan diterapkan walaupun strategi vaksinasi dari, contohnya, semua hewan ternak pengganti sebelum memasuki kelompok bisa berguna dalam situasi tertentu.
Adalah mungkin, mengumpamakan status kumpulan yang tertutup dengan biosekuriti yang sempurna, untuk mengeradikasi BVD dari kelompok. Pusat pemberantasan dari penyakit adalah identifikasi dan mengeluarkan semua hewan PI. Pemberantasan BVD dari kelompok dengan mengidentifikasi dan mengeluarkan hewan PI akan, bagaimanapun, memerlukan periode waktu yang bervariasi dan perlu dipertimbangkan, tergantung pada besarnya kelompok, karena lambatnya re-sirkulasi dari infeksi akut diantara individu peka di dalam kelompok. Re-sirkulasi bisa, bagaimanapun, dihentikan oleh vaksinasi dan demikianlah 'standar emas' dalam pengendalian dan pemberantasan BVD adalah dengan mengkombinasi identifikasi dan pengeluaran semua hewan PI dengan vaksinasi seluruh kelompok.
Mengikuti pemberantasan BVD dari suatu kelompok pertimbangan yang hati-hati harus ditekankan pada tindakan pencegahan melalui biosekuriti yang diarahkan pada pencegahan pengenalan kembali dari virus dan kebutuhan akan melanjutkan vaksinasi sebelum strategi managemen di masa yang akan datang digambarkan.
Virus BVD biasanya terbawa ke peternakan oleh pembawa (carrier). Virus BVD juga dapat terbawa ke sebuah peternakan oleh sebuah binatang yang bukan merupakan pembawa tetapi telah terinfeksi secara langsung oleh virus. Binatang ini tidak memiliki kesempatan untuk menjadi sakit atau mungkin tidak sakit tetapi akan akan menularkan virus ke ternak lain yang mereka kontak secara langsung. Pembawa adalah ternak yang telah terinfeksi oleh virus BVD sebelum mereka lahir. Mereka telah terinfeksi pada awal 125 sampai 150 harus dari kehamilan untuk lahir sebagai seekor pembawa. Ternak ini tidak terlihat sakit ketika mereka lahir tetapi telah memiliki virus BVD di dalam darah, ingus hidung, air liur, kotoran dan air seni mereka. Pembawa ini dapat hidup untuk beberapa tahun tanpa sakit dari virus BVD tetapi sebagian besar mati karena penyakit selaput lendir (mucosal) sebelum mereka berusia dua tahun. Pembawa adalah hal yang penting karena mereka menyebarkan virus kepada ternak yang lainnya. Cara lain untuk menggambarkan pembawa ini adalah mengatakan bahwa mereka telah terinfeksi terus menerus.
Sapi-sapi dengan masa kehamilan 5 bulan, ketika mereka terinfeksi dengan virus BVD akan dapat membuat anaknya menjadi carrier. Jika anak-anak sapi carrier tersebut ada di dalam suatu peternakan, hal ini akan menjadi masalah yang cukup rumit. Pemilik dapat menguji sapi-sapi tersebut ketika terjadi kelahiran dan dapat segera menandai sapi-sapi yang carrier.
Uji yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan darah. Diharapkan agar pemeriksaan pengujian dilakukan pada saat semua kelahiran anak sapi sekitar 3 bulan pada saat terlihatnya hewan pertama yang sakit dari BVD. Dan kita arus melanjutkan pengujian terhadap semua anak sapi sampai 9 bulan setelah terlihatnya hewan terakhir yang sakit pada peternakan oleh virus BVD.
Tidak ada cara untuk “perawatan” dari seekor hewan carier. Sapi yang carier ketika melahirkan akan menghasilkan anak yang akan carier juga. Jika kita menemukan sapi yang carier maka hal yang harus dilakukan adalah dengan memusnahkannya. Dan kita tidak dapat menjualnya.
Sekali virus BVD datang ke peternakan, hal ini biasanya disebarkan oleh kontak diantara ternak. Secara umum, ternak harus cukup tertutup untuk melakukan kontak dari mulut ke mulut untuk menyebarkan virus. Karena virus ini berada di ingus hidung dan air liur, barang-barang seperti embar makanan yang tidak tercuci atau puting dapat juga menyebarkan virus. BVD juga muncul di air seni dan kotoran pada anak sapi yang terinfeksi dan mungkin juga menyebabkan penyebaran virus ini (Cutler, 2002).

Hal- Hal yang dapat dilakukan pada kejadian BVD-MD

Setelah adanya perjangkitan dari BVD, pemilik harus waspada dan meyakinkan bahwa BVD tidak akan menjadi suatu masalah yang kronis dalam suatu peternakan. Ada beberapa poin yang harus pemilik ketahui :
Vaksinasi. Program vaksinasi adalah pertahanan yang terbaik yang dapat pemilik lakukan terhadap BVD. Sapi yang telah terjangkiti BVD tidak mempunyai imunitas yang dapat bertahan lama. Jadi hal ini sangat penting untuk dilakukan terhadap semua sapi. Anak sapi dan sapi yang belum divaksinasi sebelumnya, akan membutuhkan vaksinasi ganda pertama kali mereka divaksin dengan killed vaksin.
Menjual sapi dari peternakan. Tidak ada peraturan yang melarang pemilik untuk menjual sapi selama masa perjangkitan dari BVD. Untuk mencegah penyebaran dari BVD ke peternakan lainnya, kita merekomendasikan bahwa tidak ada sapi yang akan dijual selama pemusnahan dari sapi tersebut dan sedikitnya 3 minggu setelah hewan yang terakhir terlihat terjangkiti. Kita juga dapat memberikan informasi kepada calon pembeli terhadap perjangkitan BVD ini. Jika pemilik akan menjual sapi, atau sapi yang sedang bunting selama perjangkitan, maka berilah penjelasan kepada pembeli untuk memeriksakan sapi tersebut jika anak-anak sapi tadi terlahir untuk melihat jika mereka menjadi carrier terhadap BVD. Jika anak sapi tersebut carrier, maka haruslah dimusnahkan.
Pengguguran setelah perjangkitan BVD. Pemilik yang telah mengalami perjangkitan dari BVD diharapkan dapat melakukan pengguguran beberapa minggu setelah hewan yang terakhir terlihat sakit. Virus BVD dapat menyebabkan aborsi dari membunuh fetus ketika masa kebuntingan sapi yang terinfeksi. Janin tidak dikeluarkan seketika itu setelah ia mati. Pengeluaran itu akan membutuhkan beberapa minggu sebelum pengguguran terjadi (Anonim, 2001).

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengontrol penyebaran BVD-MD dalam suatu peternakan :
Hewan diisolasi jika ada gejala-gejala dari BVD dan juga hewan lain yang kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi tadi. Cara ini akan membantu menghambat penyebaran virus ini ke ternak lain. Ternak terakhir yang terinfeksi harus selalu dikontrol. Sapi-sapi bunting dan sapi dara harus selalu dikontrol agar tidak ikut terinfeksi virus ini. Menjaga kebersihan dan melakukan sanitasi dapat juga mencegah penyebaran penyakit ini (Anonim, 2001).

Sanitasi apa yang dapat digunakan untuk mengatasi BVD :
Virus BVD dapat dibunuh oleh desinfektan. Membersihkan secara rutin dan desinfeksi akan membunuh virus BVD. Sanitasi dapat dikombinasikan dengan cara “all-in, all-out” untuk membasmi BVD di kandang. Ada beberapa virus yang terbawa ke dalam peternakan oleh sapi-sapi, sapi yang carier ataupun sapi yang sudah terinfeksi (Anonim, 2001).



Sifat BVD dalam hubunganyya dengan manusia dan hewan lain :
Virus BVD tidak dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Virus BVD dapat menginfeksi hewan lain seperti domba dan hewan ruminansia liar termasuk rusa ekor putih dan bison (Anonim, 2001).

Cara melindungi peternakan dari BVD antara lain adalah :
Cara yang efektif meningkatkan keresistenan peternakan terhadap BVD dan mengurangi resiko peternakan terinfeksi BVD adalah dengan cara:
1. Mencegah penyebaran dari hewan yang terinfeksi
 Hanya membawa masuk hewan-hewan dari peternakan yang tidak terinefksi BVD.
 Hanya membawa hewan dari peternakan yang punya program vaksinasi yang efektif.
 Menghindari pembelian hewan-hewan dari kandang –kandang penjualan.
 Pengujian hewan baru untuk infeksi persisten.
 Pengisolasian hewan baru selama ± 30 hari sebelum diijinkan untuk kontak dengan ternak di dalam peternakan.
2. Meningkatkan keresistenan dari peternakan terhadap BVD dengan cara:
 Memberi vaksin secara langsung oleh dokter hewan dan label produknya.
 Ternak/ sapi yang aru lahir diberi mengkonsumsi kolostrum secara maksimum.
 Kurangi stress pada sapi yang bisa disebabkan oleh penyakit-penyakit lain, kekurangan nutrisi, ketidaknyamanan tempat tinggalnya dan kualitas air yang jelek.
3. Mengurangi penyebaran BVD
 Cegah kontaminasi pupuk kandang terhadap bulu, makanan dan air.
 Tempat tinggal bayi sapi dibuat sendiri-sendiri.
 Isolasi hewan sakit.
Vaksinasi untuk BV merupakan komponen penting dari sebuah program pencegahan BVD (Anonim, 2001).

Perlindungan yang dapat diperoleh dari vaksin BVD :
Vaksinasi tidak memberikan perlindungan yang sempurna terhadap BVD.Vaksinasi akan melindungi kebanyakan ternak dari sakit tetapi beberapa vaksin ternak dapat menyebabkan sakit. Ketika ternak-ternak itu sakit, vaksin mulai hadir untuk melindungi mereka dari penyakit-penyakit yang dapat mematikan mereka.
Vaksinasi memberikan beberapa perlindungan terhadap infeksi pada fetus pada ternak bunting. Ternak bunting bisa mengalami abortus jika mereka divaksin tetapi kelihatan bahwa vaksinansi dapat mengurangi jumlah ternak yang akan abortus.
Meskipun anda telah memvaksin ternak anda, namun anda tetap harus tetap membawa ternak baru untuk dimasukkan ke dalam suatu peternakan. Pastikan hewan-hewan ternak yang baru dibeli tersebut telah divaksin sebelum masuk ke peternakan. Ternak yang telah divaksin akan resisten terhadap BVD, tetapi masih memungkinkan untuk dapat terjangkit BVD untuk waktu yang singkat (sekitar beberapa hari hingga beberapa minggu) dan bisa juga menularkan penyakit ini pada ternak yang lain. Hal ini berarti meskipun ternak tersebut telah divaksin, masih tetap dapat membawa virus BVD (atau penyakit lain) ke dalam kawanan ternak.
Sangatlah baik bila mengkarantina terlebih dahulu ternak-ternak yang baru dengan memisahkan terlebih dahulu dari ternak yang lain selama 3 minggu. Untuk menghindari penyebaran BVD, kandang untuk karantina sebaiknya tidak terjangkau oleh kawanan ternak yang lama. Ternak yang lama dan yang baru tersebut sebaiknya tidak berbagi minum ataupun makanan. Hati-hatilah agar kotoran tidak tersebar dari kandang ke kandang, melalui tempat makanan atau minuman ataupun garpu untuk memindahkan kotoran.
Setelah penyebaran BVD, virus tersebut dapat berlanjut dan menyebabkan masalah penyakit. Untuk mencegah berlanjutnya penyebaran BVD, disarankan agar dilakukan program vaksinasi. Peternak harus memastikan bahwa anak sapi yang baru saja lahir setelah penyebaran penyakit tersebut bukanlah carrier yang dapat menyebarkan BVD ke dalam kawanan ternak. Peternak juga harus memperhatikan saat menjual ataupun membeli ternak (anonim, 2001).